Mengenal Karakter Berbagai Etnisitasi Di Asia Tenggara

Mengenal Karakter Berbagai Etnisitasi Di Asia Tenggara – Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan terdiri dari berbagai etnis, suku, dan agama yang berbeda-beda menandakan adanya diversitas pada kawasan ini.

Layaknya permasalahan yang dialami oleh kawasan lainnya di dunia yang terdiri dari berbagai macam karakteristik masyarakat, isu konflik, separatisme dan instabilitas yang terjadi di dalam negara-negara kawasan Asia Tenggara mewarnai perkembangan dan dinamika kawasan in. idn slot

Satu hal yang menarik untuk dibahas adalah karakteristik dari masyarakat Asia Tenggara itu sendiri, yakni entitas-entitas yang tergabung dalam sebuah negara memilki andil besar yang berdampak terhadap fenomena-fenomena yang mempengaruhi Asia Tenggara sebagai sebuah kesatuan kawasan. https://americandreamdrivein.com/

Berbagai etnisitas yang ada dalam kawasan mempengaruhi tatanan sosial negara yang berkaitan dengan instabilitas dan keamanan terhadap aksi separatisme. Pada pembahasan kali ini kelompok penulis akan menjelaskan karakteristik dan dampak perbedaan etnis, akar permasalahan konflik serta perkembangannya di kawasan Asia Tenggara.

Mengenal Karakter Berbagai Etnisitasi Di Asia Tenggara

Pembentukan regional ASEAN ternyata tidak mampu membendung konflik etnis dalam meningkatkan kerja sama di antara negara-negara kawasan. Beberapa negara di antaranya, harus terjebak pada situasi hubungan kurang baik yang menghadirkan permasalahan domestik sehingga mempengaruhi kebijakan luar negerinya.

Salah satu contoh kasus ketidakamanan negara adalah akibat kolapsnya Republik Vietnam oleh gerakan North Viatnamese Army pada tahun 1975 yang meningggalkan sejumlah permasalahan kompleks dalam bidang kemanusiaan, keamanan, dan politik diantara negara ASEAN.

Pergantian rezim Vietnam ke arah otoritarian menunjukkan adanya kepanikan yang mengakibatkan ratusan bahkan ribuan pengungsi dari Vietnam, Laos, dan Kampuchea (sekarang Kamboja) meninggalkan kampung halamannya dan berupaya mencari penghidupan baru di tempat lain. Ketidakamanan regional ASEAN akibat peristiwa di Vietnam membuat Malaysia, Thailand, dan Indonesia menghadapi ancaman.

Ketiga negara tersebut menjadi jujukan masyarakat Vietnam, Laos, dan Kamboja yang mengungsi dari kekuatan rezim komunis di negaranya (McWilliams 1984, 878). Bahkan akibat eksploitasi wilayah yang dilakukan penguasa Vietnam, terjadi peningkatan gelombang pengungsi yang membawa ketegangan semakin intensif di wilayah perbatasan Kamboja dan Thailand.

Perluasan kekuasaan Vietnam sendiri, tidak terlalu menginginkan pergerakan ke arah negara Laos karena wilayah negaranya yang kurang subur sehingga lebih dominan melakukan penguasaan pada wilayah Kamboja.

Di sisi lain, konflik yang terjadi diantara negara-negara ASEAN menurut Amitav Acharya (t.t) merupakan kecenderungan yang dilakukan negara-negara baru dengan sistem demokratis untuk mengekspor revolusi di negara mereka.

Negara-negara tersebut ingin menunjukkan sikap simpati terhadap perjuangan pro-demokrasi yang pada akhirnya malah membuat negara tetangganya yang memiliki sistem kekuasaan otoriter merasa terganggu. Akibat perbedaan pandangan dengan negara pro-demokrasi, negara otoriter mengambil sikap defensif dan rasa terancam dengan naiknya intensitas permusuhan (Acharya t.t).

Hal ini terjadi di wilayah Thailand dibawah pemerintahan Chuan Leekpai yang menyerukan demokrasi, membuat ketidaknyamananan di antara negara tetangganya yang menganut sistem komunis, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja. Negara-negara ASEAN yang menganut paham komunisme tidak terlalu memiliki hubungan dekat dengan negara demokrasi lainnya.

Negara Laos yang awalnya ketika perang tahun 1970-5 terbagi dalam tiga wilayah, memiliki keterikatan hubungan dengan Perancis, Amerika Serikat dan Thailand pada sisi kanan. Di sisi kiri, Laos beraliansi dengan Komunis Vietnam dan Uni Soviet (Rathamarit t.t).

Namun akhirnya, perang Laos dimenangkan oleh gerakan Pathet Lao yang menganut Komunisme, cenderung lebih dekat dengan Vietnam meskipun di sisi Vietnam sendiri lebih dekat merasa memiliki keterikatan lebih dekat dengan Kamboja, ketimbang Laos.

Untuk menarik garis besar dalam menganalisis karakteristik dari masyarakat Asia Tenggara adalah pendalaman terhadap sejarah terbentuk kedaulatan dan kemerdekaan dari negara-negara Asia Tenggara. Konsep yang paling berkembang yang menjadi salah satu faktor adalah persebaran konsep self-determination.

Konsep ini memiliki sejarah yang panjang dan dapat dilacak di studi HI pada abad ke-18 dengan konsep sovereignity dalam perjanjian Westphalia. Konsep ini terus berkembang dan dengan berakhirnya PD II, proses perkembangan konsep ini memasuki kawasan Asia Tengara dan menjadi latar belakang kemerdekaan negara-negara di kawasan ini.

Konsep self-determination memberikan sebuah karakteristik tersendiri bagi masyarakat asia tenggara yang mengalami kolonialisasi dari negara barat dan membentuk sebuah identitas untuk dapat lepas dari diskriminasi dan penjajahan yang terjadi.

Konsep self-determination di satu sisi memberikan dampak yang vital dalam pembentukkan konsep kemandirian dan pembentukkan negara-negara. Namun di sisi lain memberikan permasalahan baru dengan ciri dari kawasan ini yang terdiri dari berbagai etnis, agama, dan suku dengan jumlah minoritas dan mayoritas yang berbeda di setiap negaranya.

Dikriminasi dan ketidakpuasan yang dialami oleh penduduk minoritas di kawasan, dan karateristik self-determination yang telah mengakar dan terbentuk di masyarakat asia tenggara, menyebabkan terbentuknya gerakan separatis di negara Asia Tenggara.

Contohnya adalah pemberontakkan MORO di Filipina, GAM di Indonesia, dan pemberontakkan etnis di Thailand yang meligitimasi dan menjustifikasi gerakan separatis etnis di kawasan ini (Horowitz 1981).

Mengenal Karakter Berbagai Etnisitasi Di Asia Tenggara

Laos sendiri pada perkembangannya memiliki dua ideologi berbeda yang ada di masyarakat yakni antara kaum Phatet Lao dengan pemerintah itu sendiri. Dampaknya, kaum Phatet Lao yang dilatarbelakangi dengan ideologi komunis dan dibantu oleh Viet Minh dari bagian Utara akhirnya melakukan kudeta dan mampu menguasai Laos (Savada 1994).

Berkuasanya Phatet Lao lantas berpengaruh pada sistem dan struktur politik negara dalam menentukan kebijakan luar negerinya terutama dalam aspek ekonomi (Rakow 1992). Masyarakatnya pun terkena imbasnya, karena perang yang terjadi di daerah Indocina ini telah memporak-porandakan tempat tinggalnya.

Akhirnya lahan pekerjaan masyarakat yang sebagian besar adalah berasal dari aspek agrikultur mengalami kerugian besar. Melihat hal ini, setelah perang berakhir pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakatnya untuk membangun kembali sektor agrikulturnya agar bisa meningkatkan perekonomian Laos kembali.

Meski demikian, para petani merasa malas untuk bekerja dan dirugikan disini karena hasil agrikulturnya hanya bisa dijual kepada negara saja, padahal mereka lebih menyukai produknya diberikan kepada para orang suci atau melakukan kegiatan-kegiatan religi. Akhirnya, banyak masyarakat sipilnya kemudian bermigrasi ke Thailand untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dibandingkan di Laos (Rakow 1992).

Brown (1988) mengungkapkan setidaknya terdapat empat faktor yang melatarbelakangi kemunculan konflik etnis seperti separatisme; (1) adanya negara dengan karakter satu etnis saja atau mono-ethnic; (2) asimilasi dan sentralisasikarakter melalui upaya penetrasi negara; (3) pergeseran kesadaran umum; (4) Elit yang mencari legitimasi.

Brown (1988) dalam bukunya menjelaskan tentang enam perspektif yang dapat digunakan untuk memahami konflik etnis. Pertama, konflik etnis akan rentan terjadi pada negara baru terlebih jika negara tersebut merupakan negara bekas jajahan rezim kolonial yang kuat. Kedua, masalah ekonomi mampu meningkatkan dan memunculkan rasa nasionalisme keetnis.

Hal tersebut terjadi ketika lahan suatu masyarakat digunakan oleh masyarakat lain untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat lain. Kondisi tersebut perlahan akan menumbuhkan gejolak dalam diri masyarakat pribumi lahan tersebut.

Ketiga, apabila rasa nasionalisme keetnisan suatu komunitas masyarakat sudah terlampau tinggi, makan akan sulit bagi komunitas tersebut untuk menerima kehadiran komunitas masyarakat lain. Perspektif yang keempat terfokus pada aktifitas upaya manipuatif para elit etnis minoritas yang berusaha untuk mempromosikan kepentingannya individunya sendiri dengan cara menonjolkan sisi etnisitasnya.

Sedikit berbeda dengan empat perspektif yang telah dijelaskan sebelumnya, perspektif sisanya berkaitan dengan mono-casual dalam separatisme. Perspektif yang kelima adalah bahwa gerakan separatisme muncul dalam komplikasi situasi dan kondisi tertentu,

sehingga perlu dilihat lebih jauh lagi kondisi seperti apa yang secara ekslusif menyebabkan kemunculan gerakan atau kelompok separatisme. Perspektif yang terkahir adalah bahwa separatisme merupakan pemberontakan yang komunal apabisa pemberontakan tersebut terhadi pada etnis minoritas.

Salah satu contoh konflik etnis dan gerakan separatisme di Asia Tenggara adalah pada kasus Moro di Filipina. Di Filipina sendiri terdapat beberapa gerakan separatisme, seperti MNLF (Moro Nation Liberation Front), MILF (Moro Islamic Liberation Front), dan ASG (Abu Sayyaf Group).

Spanyol yang pada zaman imperialisme pernah menjajah Filipina telah berhasil memasukkan agam Kristen di sana. Masyarakat Kristen ini kemudian menjadi dominan, sementara masyarakat Moro yang memeluk Islam menjadi minoritas dan marginal.

Hal tersebut semakin diperparah dengan kebijakan asimilasi oleh pemerintah Filipina melalui pembangunan sekolah dan fasilitas umum, menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar agar Kristen dapat terintegrasi dan masuk ke dalam masyarakat Moro (Brown 1988). Dampak dari tidak adanya porsi masyarakat Muslim untuk turut berpartisipasi dalam perpolitikan,

pada tahun 1967 muncul MILF, disusul kemudian dengan MNLF pada tahun 1969. Myanmar yang juga merupakan negara plural dengan banyak etnis, mengalami hal yang sama. Pemerintah mengupayakan asimilasi, sementara di satu sisi muncul juga gerakan anti fasis AFPFL yang menuntut kemerdekannya sendiri.

Sekolah digunakan sebagai instrumen untuk memasukkan nilai-nilai Budhhisme (Brown 1988). Tidak hanya itu, etnis DNA masyarakat minor seperti Karen dan Shan juga dirugikan dalam bidang perekonomian. Daerah Shan merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, namun sayangnya infrastruktur yang tersedia sangat tidak memadai. Kawasan pergerakan ekonomi juga hanya terpusat di Rangoon saja.

Masih sehubungan dengan minoritas dan marginalitas, gerakan separatisme di Thailand juga dilandasi oleh hal yang sama. Pemerintah Thailand mengupayakan asimilasi, menetapkan Thai-Budha sebagai satu kebudayaan nasional. Masyarakat Pattani yang notabene-nya merupakan masayarakat Melayu-Islam juga harus menerapkan kebijakan tersebut.

Jika dibandingkan dengan masyarakat Thai-Budha dan Thai-Cina, masyarakat Melayu-Islam atau Thai-Islam tidak mendapatkan fasilitas serta pendidikan yang baik. Mereka juga tidak memiliki elit yang merepresentasikan suara masyarakat Thai-Islam.

Gerakan separatisme di Thailand muncul pada sekitaran tahun 1970, seperti PULO (Pattani United Liberation Organization), BNPP, dan BRN. Separatisme Pattani, khususnya, mendapatkan dukungan dari negara Timur Tengah dan juga negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia.

Gerakan separatis di Asia Tenggara asumsikan dimulai ketika isu politik identitas etnis menguak pada negara- negara di kawasan. Asia Tenggara sebagaimana telah diketahui merupakan kawasan yang multietnis, membuat isu identitas lantas berlanjut pada munculnya perselisihan. V. K. Korostelina (2007, 31-2)

berpendapat bahwa adanya identitas sosial mencegah orang dari ancaman konflik interpersonal dengan menyediakan perlindungan bagi sebuah kelompok dengan ruang yang sama. Pembentukan identitas merupakan hasil dari identifikasi yang melibatkan proses sosialisasi, nilai bersama, kepercayaan, harapan, norma, dan sebagainya.

Identitas adalah sebuah struktur dengan interelasi kompleks diantara sub-identitas yang berbeda-beda. Adanya bermacam-macam atribut budaya dari identitas mendorong orang membuat prioritas atas atribut budaya di sekitar mereka, dan ketika individu membuat prioritas berbeda, mereka cenderung untuk berkonflik satu sama lainnya (Castells 1997, 6-7). Thailand, Filipina, dan Indonesia adalah tiga dari banyak negara di Asia Tenggara yang cukup kental kaitannya dengan gerakan – gerakan separatis etnis.

Di Thailand, diawali dengan menggantikan penguasa kesultanan menjadi penguasa Budha yang beretniskan Thai telah memicu pendekatan yang represif dari penguasa Budha di Thailand sehingga memunculkan kelompok-kelompok oposisi.

Gerakan oposisi pertama yang terkenal atas penaklukan oleh orang Siam adalah yang dipimpin oleh Tengku Abdul Kadir, yang merupakan Sultan Patani terakhir, yang merupakan resistensi pasif pada tahun 1903.

Penangkapan Tengku dan pelepasannnya pada tahun 1906 menyebabkan pemberontakan dan provokasi meningkat namun Bangkok tetap menguasai kerusuhan politik tersebut. Sedangkan di Filipina sebagai negara kontemporer di Asia Tenggara sebagian besar merupakan negara kelanjutan dari negara bentukan para kolonialnya yang ditinggalkan para kolonialis Eropa.

Negara Filipina merupakan salah satu negara yang juga melanjutkan perilaku para bekas kolonialis Eropa dan Amerika Serikat dengan melakukan tekanan represif terhadap gerakan Moro dengan kebijakan asimilasi identitas lokal Moro kepada identitas nasional yang berujung pada konflik berbasis sentimen etno-nasionalis.

Sementara itu, di Indonesia sebelum dan sesudah serangan 09 September 2001 di Amerika Serikat, kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hanya dianggap sebagai gerakan separatis saja. Pemerintah Indonesia lebih bersifat defensif daripada ofensif seperti pemerintah Filipina dalam melakukan pendekatan terhadap gerakan etnonasionalis.

Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan yang lebih halus dengan bernegosiasi dengan GAM atau gerakan Aceh untuk mengintegrasikan daerahnya, khususnya setelah bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.